“Kenapa aku
dilahirkan ke dunia jika di dunia ini aku identik dengan caci maki dan
hinaan?”. Itu pertanyaan pertama yang
ingin aku Tanya pada sang penciptaku. Entah apa yang salah denganku ketika
banyak orang dengan mudahnya memandang ku sebagai bagian dari “kehinaan”. Terlalu parahkan labelingnya? Aku rasa itu
tidak, karena menjadi keseharianku yang biasa ku terima. Kata-kata si Banci,
bencong atau ejekan-ejekan sarkas sudah
biasa mengaung-gaung digendang telingaku.
Nama asliku
Dofir, laki-laki satu-satunya dari empat saudara perempuan. Tetapi sejak kecil
aku ingin menjadi sosok yang lainnya, tidak sama dengan laki-laki lainnya
disekitar lingkungan rumahku. Aku merasa lebih seperti kakak perempuanku, aku
lebih nyaman ketika bermain boneka atau aku lebih suka membantu ibu memasak di
dapur daripada aku bermain sepak bola atau bermain sepedah mencari burung di gumuk depan rumah. Bukan itu yang biasa
ku lakukan, itu bukan permainanku, meski lazimnya laki-laki yang katanya tulen memainkan hal-hal itu tapi
sekali lagi aku tidak suka, benar-benar tidak nyaman. Lalu pada hari ini ketika
hari terus berganti, tahun pun berganti semua berganti dan waktu tetap
bergeming untuk membawaku pada posisi yang diperlakukan secara memanusiakan
manusia. Keadaan menjadi lebih parah, stigma masyarakat tentangku terlalu
sinis, lalu apa yang salah dengan ku? Apa aku salah ketika kelaki-lakian ku
harus tersisihkan dengan sisi feminisku? Apa itu salah? Lalu siapa yang berhak
menyalahkan atau membenarkan? Aku rasa tidak ada. Tidak ada yang berhak untuk
menilai dengan pandangan yang begitu sempitnya dengan standarisasi benar dan
salah, hitam dan putih, berisi dan kosong.
Sudah beranjak
pada masa-masa dimana aku semakin bimbang memilih. Sepertinya Tuhan menakdirkan
aku dengan cara yang tidak tepat.
Badanku laki-laki yang kekar, sedangkan jiwa ku terlalu lembut jika
harus disamakan dengan kain sutera Cina. Kini, aku mencoba untuk menjadi diriku
sendiri ditengah kondisi yang tidak tepat atau bahasa lainnya soal tubuhku yang
laki-laki ini. Jauh lebih baik dan sangat mewakili kepribadianku jika aku
dipanggil Firda. Nama yang identik dengan perempuan. Itulah diriku, yang tidak
ingin tunduk pada norma-norma yang dimaknai secara parsial yang merendahkan
manusia yang juga sama-sama terlahir dari rahim seorang ibu. Terlalu lama aku
terbelenggu ditengah kebiasaan-kebiasaan itu yang pada akhirnya aku harus
menjadi munafik. Tidak menjadi diri sendiri, aku juga ingin merasakan bagaimana
merasakan menjadi Firda yang sesungguhnya
dengan bedak, lipstick atau hotpens, tanpa harus takut dicibir oleh
tentangga. Aku juga menjadi diri sendiri berkerja di salon atau di butik,
tempat dimana kawan-kawan yang dimarjinalkan seperti aku ini berkerja.
Apa daya,
harapan hanya sekedar harapan. Berharap untuk menjadi diri sendiri sangat sulit
sekali kulakukan. Dari hal pendidikan saja
aku tidak terlalu tinggi dalam
berproses, hanya SMA . Itu pun dengan kondisi yang terseok-seok. Kondisi keluargaku tidak terlalu baik soal
ekonomi, yang pada akhirnya aku harus banyak menahan diri untuk merealisikan
cita-citaku. Hal itulah yang mendorongku untuk berkerja dengan cara dan
kemampuan yang ku punya. Apalagi kalau buka tenaga, sebab orang miskin itu
hanya punya tenaga yang tidak ada hentinya. Jika memang pendidikan tidak menunjang.
Ya, apalagi kalau bukan menjadi buruh kasar dalam setiap proyek-proyek
pembangunan. Meski banyak orang mengatakan aku ini bencong, tetapi bukan berarti aku ini lemah. Aku masih bisa mencari
rumput untuk ternak milik pak haji, atau aku terbiasa pula mengankat-angkat
pasir, mengaduk adonan semen atau apalah itu yang juga dilakukan oleh laki-laki
tulen. Semua kulakukan atas dasar kebutuhan ekonomi yang mendesak. Tidak
mungkin hanya karena egoku dengan lebih condong sisi kewanitaanya aku tidak
bisa berbuat sesuatu untuk keluargaku yang menjadi benteng terkuatku ditengah
cibiran masyarakat yang sok tau itu.
Meksi aku
berkerja kasar tetapi tetap saja aku adalah Firda yang berlajar menjadi diri
sendiri, meski badanku kekar, kulitku legam tapi aku tetap percaya diri dengan
bedak yang tebal, bibir yang merah merona dan bubuk-bubuk putih yang ku usapkan
disekujur tubuhku, kulalukan itu agar dapat mengurangi kelegaman kulitku. Tanpa
sadar, ketika aku melihat cermin, memang benar pendapat orang-orang dijalanan ketika
malam hari, ketika aku melakukan perkerjaan sambilanku yaitu mengamen, bahwa
aku memang begitu menakutkan, seperti dakocan.
Tapi tak peduli dengan itu semua aku lebih suka kondisiku saat ini dimana aku
sudah beranjak pada ketitik nol-an ku. Menjadi manusia yang dimarjinalkan
masyarakat tetapi tetap percaya diri.
Malam hari
memang menjadi sahabat setiaku, ketika siang aku harus bersahabat dengan
peluh-peluh yang berkucuran, tapi dimalam hari aku mengakbrabi jalanan dengan
memaksimalkan suara pas-pasanku . Lumayanlah untuk beli bedak dan keperluan
kewanitaanku. Dari mana lagi aku harus memenuhi kebutuhan domestiku. Upah yang
kudapat disiang hari aku berikan pada ibu untuk bantu-bantu keuangan
keluargaku. Adik-adikku banyak dan aku harus bertanggung jawab dengan mereka,
jangan sampai mereka merasakan kesedihan yang terlalu mengakrabiku. Cukuplah
aku. Biarkan aku yang pada akhirnya dibuat kuat oleh kekejaman itu sendiri.
Biarkan aku bersahabat dengan kegetiran agar aku benar-benar menjadi diri
sendiri. Terlalu capek aku menjadi munafik. Aku adalah seorang transsexual,
tapi bukan berarti aku sangat murahan dengan melacurkan mulutku untuk memenuhi nafsu
laki-laki normal itu. Perkejaan kasar jauh lebih baik, mengamen juga sebagai salah satu solusi tambahan untuk mengatasi permasalahan keuanganku.
“anugerah
terbaik adalah mati muda, berbahagialah mereka yang mati muda”. Itulah sebaik
puisi dari Soe Hok Gie, yang aku lupa judulnya.Awalanya dari puisi itu hanya kumaknai sekedar dari sisi gramatikal,
tapi lama aku berpikir untuk menemukan makna yang lebih dari sekedar itu.
Pengungkapan makna puisi yang langsung saja semua itu mengingatkan ku pada
sosok Ayahku. Bukan” mati mudanya” yangdiartikan secara langsung. Tetapi makna tersembunyi “mati muda,
berbahagialah mereka yang mati muda?”.Memang pada akhirnya aku harus meyakini apa yang ku dapat tentang makna
mati muda itu. Mati muda bukan berarti menyerahkan diri dalam takdir yang
selalu menantang, yang akhirnya frustasi dalam ketidakmampuan diri sehingga
terasing dalam sudut-sudut yangmunafik
dan pengecut.Bukan, bukan itu aku dan
Soe Hok Gie maksud. Mati muda adalah pilihan diri yang lian. Yang tetap pada konsistensi dalam menjungjung makna idealism
yang akhirnya bermetamorfosis dalam prinsip hidup yang tidak bisa di ganggu
gugat meski itu sebagai pilihan yang sulit. Pilihan yang sulit aku tegaskan
sekali lagi yaitu “BUNUH DIRI KELAS, MUTASI SOSIAL”. Hal itu yang Soe Hok Gie
lakukan sehingga dia lebih baik di asingkan dari pada tunduk pada kemunafikan.
Gie bukan terlahir sebagai pengecutyang
lari dari kenyataan, tapi Gie melawan kenyataan yang tidak berpihak padanya
dengan tidak berurusan dengan api kepentingan yang pragmatis.Gie sadar betul
ketika melihat kawan-kawan seperjuangannya akhirnya tunduk pada system yang
menurut Gie tidak jauh berbeda dengan rezimyang dulu Gie lawan. Sehingga ‘dari pada dia berada dalam kondisi yang
bisa membuat dia “kalah”, Gie lebih bangga “mati muda” di Mahameru.
Kembali pada
sosok Ayahku. Tidak berbeda jauh esensi yang dilakukan Gie dengan Ayahku selain
jamannya dan pilihan Gie yang akhirnya harus menghirup udara terakhirnya di
puncak Mahameru di usianya ke 27 tahun. Ayahku lebih hebat dari itu semua.
Ayahk tidak mengasingkan dari di tengah kemnunafikan, tidak pula memilih jalan
seperti Gie. Tetapi Ayahku mengendap-endap bagai Harimau lapar memasuki ruang
kemunafikan yang berstruktur rapih. Dia bukan untuk menjadi bagian
pelacur-pelacur yang jauh tidak terhormat dari PSK. Dia bukan pula datang untuk
menjadi sosok yang mengikrarkan diri dalam panggung pengumunan yang di tonton
ribuan rakyat yang sudah muak dengan alibi-alibi busuk yang tak berujung.
Ayahku tetap Ayahku dengan kesederhanaanya untuk memilih mutasi sosial dan
lebih bangga mengumpulkan kerikil-kerikil kecil, bergerak dari sudut-sudut
termarjinalkan untuk memukul penguasa yang lapar akan kepentingan busuk. Sudah
terbukti. Tapi aku tidak ingin bercerita soal itu, biarlah di lain waktu saja.
Aku yaikin
seyakin aku punya keyakinan, memilih untuk menjadi Ayahku sangat sulit untuk
dijalani karena pilihan untuk selalu menjadi sederhana, entah pada definisi
sederhana baginya?. Masih dengan keyakinanku “ hidupnya seharusnya seharusnya
jauh lebih baik dari sekedar hari ini”. Dengan nada keras Ayahku menjawab “ apa
kau mau hidup dari hasil melacur?”. Melacur? Konotasi apalagi yang dia yakini.
Entahlah aku selalu meraba-raba dalam ruang yang absurd. Dalam pilihan Ayahku
itu ada dampak yang kadang membuat ku menggerutu. Dulu ketika aku masih SMA,
kadang aku harus menahan diri untuk bisa menimati masa mudaku dengan lepas,
bukan karena pengekangan tapi soal klasik yang setiap kepala di dunia ini
butuhkan. Aih, aku harus juga menjadi sederhana, wajarlah mungkin ketika di
usia ku yang masih ababil (ABG LABIL) kadang tertusuk oleh rasa galau karena
tidak bisa dengan leluasa “memanfaatkan” orang tua untuk menikmati hidup di
masa muda. Aku harus menabung untuk membeli apa yang ku mau, yang ku mau di
anggap sebagai kebutuhan tersier, yang ayahku yakini, bahwa kebutuhan yang ada
itu hnya kebutuhan Primer saja. Mungkin dulu ketika SMP tidak pernah masuk
pelajaran Ekonomiatau gurunya lupa
tidak mengajarkan tentang kebutuhan-kebutuhan manusia itu di klasifikasikan
menjadi tiga macam. Entahlah.Sampai untuk
beli handphone aku nabung dari uang sakuku yang hanya 3000 ukuran yang sangat
sedikit ketika aku SMP karena harus dibagi oleh ongkos, terpaksa hampir setahun
aku harus Manahan diri untuk tidak jajan di sekolah dan kadang saja ketika ada
uang lebih, selain itu aku harus memutar otak untuk bisa dapat uang, jalan
satu-satunya aku harus memanfaatkan anugerah pemberian Tuhan, apalagi kalau
bukan otak manusia yang senantiasa untuk terus berpikir dan berpikir, ku
memulainya dengan berjualan makalah pada teman-teman yang malas untuk
mengerjakan tugas-tugas dan benar saja sangat membantu. Kisah itu hanya banyak
cerita untuk mandiri, yang pada hari aku kenalsebagai BERDIKARI. Dan yang terakhir ini aku pun menabung untuk
mendapatkan Laptop, dan alhamdulilah dengan uang bulanan 500ribu, dipotong makan,
photocopy, uang kost pula aku berhasil membelinya sendiri. Kebiasaan ku dari
sejak SMP untuk selalu berusaha sendiri akhirnya memang membuahkan hasil,
ketika dulu aku menabung karena yakin tidak di kasih,sekarang aku menanbung
karena aku malu untuk meminta, aku tidak ingin menjadi benalu itu saja. Prinsip
hidup yang di dapat karena proses panjang. Ketika dulu akumerasa “iri” pada teman-temaku karena aku
harus banyak bersabar ketika mengingkan sesuatu karena orang tua ku berbeda
pandangan soal apa yang ku mau, sekarang aku bangga dan senang berhasil
memenuhi kebutuhan ku diluar kebutuhan pokokku secara mandiri dengan usaha yang
beraneka ragam. Aku bangga tidak menyusahkan orang tua.
Dari semua itu
aku belajar soal makna berjuang, makna untuk bisa hidup dimanapun kita
berpijak. Manfaatnya didapat sekarang ini ketika aku jauh dari orang tua.
Proses pendidikan yang aneh tapi terbukti ampuh, haha. Aku jadi teringat pada
celoteh Pidi Baiq, mantan vokalisnya The Panas Dalam “anak-anak memang butuh
uang, tapi lebih butuh untuk menjadi bangga pada Ayahnya”. Benar sekali yang
jauh lebih besar dari semua itu kebangga pada sosok ayahnya yang juga ku
cari-cari sendiri. Karena ayahku bukan ayah yang suka mendongen atau bercerita
tentang kisahnya. Sehingga komunikasi dengan anak-anaknya pun sangat terkesan formal
banget. Khususnya denga aku ini. Tapi tak apalah, mungkin dia mendidik anaknya
dengan cara yang berbeda-beda sesuai dengan karakternya.
Kembali pada
makna mati muda, entah sejak kapan Ayahku memaku diri dalam prinsip yang tidak
ingin “kaya” jika tolak ukurnya adalah materi. Memang konsistensi menjadi
jawabannya. Ayahku telah membuat anti tesis terhadap puisi Gie, Ayahku tidak
mengasingkan diri dari kemunafikan tapi Ayahku melawan kemnufikan. Dia tidak
mati muda, tapi sering untuk dimatikan. Sering kalinya nyawanya dipertaruhkan
untuk konsistensinya yang tidak pernah menemukan titik ujungnya. Bahkan dalam
suatu kisah, kita sekeluarga pernah terpangganghabis jika saja mamahku tidak sadar bahwa rumah kita sedang dilalap api.
Ayahku tidak gentar, dan kami, aku pun tidak sedikitpun merasa gentarsediikit pun bahkan semakin memacu untuk
meningkatkan laju perlawanan Ayahku. Istimewa benar.
Kini ayah
menginjak usia senja, sampai sejauh ini aku meraba-raba sampai kapan kau akan
terhenti pada satu titik konsistensimu. Aku sama sekali tidak pernah tau dan
tidak bisa menebaknya karena itu hanya menambah tanyaku. Terlepas dari semua
masalah yang dulu tidak pernah kita sepakati aku bangga pada mu, yah. Sangat
bangga. Meski kita harus berdebat panjang untuk menemukan kesimpulan akan
tujuan hidup, meski dulu kau seriang lupa memperlalkukan dengan wajar anakmu
ini, meski pada nyatanya kita memang berbeda. Sekali lagi ku tegaskan pada mu.
Yah, aku bangga menjadi anakmu. Memang aku harus jujur Ayahku memang tidak banyak
mengajarkan ku banyak hal tentang nilai-nilai kehidupan ini pada ku. Sampai
pada hal itu pula aku harus mencari sendiri dalam liku-liku Tanya yang
dipecahkan oleh realita yang ku temukan. Tapi semua itu membuatku belajar dan
belajar. Jujur saja yah, aku tidak bisa untuk menjadi seperti mu, karena memang
aku tidak mau, tapi aku banyak belajar darimu soal konsistensi, soal makna
berjuang dalam tataran praksis membuat yang tidak realistis di awalnya dan
menjadi realistis di akhir. Semua itu hanya ku temukan di Ayahku saja. (maaf
mah, aku tidak sedang menulis tentang mu). Terimakasih atas semua karya mu yang
juga harus kubenturkan pada anti teas-anti tesa realita yang jauh dari sisi
ideal, kutegaskna sekali lagi kau menjawab itu dengan tindakan nyata.
Ini yang
terakhir, aku hanya ingin member tahu pada mu sebagai Ayahku. Hampir selama 9
bulan aku berada dalam proses magang yang panjang di Lembaga Pers Mahasiswa
Tegal Boto, dimana aku belajar banyak tentang hal-hal yang baru yang lebih
menarik. Pada minggu ini, aku mencapai titik zenit dalam pencampain awal
menjadi bagian dari mereka. Aku di terima oleh mereka setelah seleksi yang
sangat ketat apalagi kalau bukan karena statusku sebagai mahasiswa ekstra. Pada
awalnya memang ada ketakutan pada ku, karena aku di khawatirkan menjadi
penyusup dan merusak organisasi Tegalboto, tapi aku berhasil meyakinkan semua
pihak bahwa niatku bergabung dengan Tegalboto hanya untuk belajar dan menimba
pengalaman. semua terjawab kini aku dipercaya sebagai REDAKTUT PELAKSANA DIVISI
WACANA. Aku menjadi GmnI kedua yang dalam sejarah TegalBoto yang berhasil
menembuh jajaran redaksi, kini aku resmi menyandang sebagai Wartawan Kampus
meksi tulisanku banyak dicaci dan di maki tapi ini belajar . aku masih dalam
proses menulis bagus. Mereka menerima ku bukan karena tulisanku yang bagus tapi
karena mereka ingin aku merubah gerakan TB untuk lebih progresif.
Salam untuk
mamahku dan adik-adikku. Sayangilah mereka!!!!
Sudah
menjadi pemandangan yang biasa difakultasku ini, ketika taman fakultas yang
teduh di penuhi oleh mahasiswa-mahasiswa yang sibuk dengan ‘dunia’ dan
kepentingannya masing-masing. Fakultas hukum merupakan tempat para calon
praktisi-praktisi hukum, akademisi, politisi, penguasa, atau hanya sebatas suka pada hukum. Pada
intinya beragam tujuan dibawa masuk
untuk menempuh pendidikan hukum di fakultas hukum. Aku jadi teringat dengan
kata-kata seorang filsuf Romawi, yang bernama Cicero “ Ibi Ius Ibi Societas”
artinya dimana ada perkembangan masyarakat maka disitu ada pula hukum yang
tumbuh. Sehingga seluruh segala aspek yang berkembang di masyarakat selalu
identik dengan hukum karena memang fungsi hukum yang mengaturnya.
Aku
teringat pula dengan Undang-undang dasar 1945 Pasal 1 ayat 3 yang berbunyi “
Negara Indonesia adalah negara hukum”. Betapa pentingnya hukum di negara ini
sampai-sampai dijamin oleh Undang-Undang Dasar 1945 dan juga dibuktikan oleh
doktrin-doktrin para ahli yang mempertegas perananan hukum bagi perkembangan
dan kemajuan masyarakat. Mungkin alasan-alasan tadilah yang melatar belakangi banyaknya calon mahasiswa baru
mendaftar ke fakultas hukum untuk berusaha menjadi calon-calon ahli hukum.
Entah itu sebatas kuliah atau memang benar-benar kuliah untuk menjadi seorang
yang ahli hukum dan berusaha menegakan hukum sebenar-benarnya dan
seadil-adilnya. Oh puitis sekali. Sampai-sampai aku lupa kalau ada yang berbeda
dengan kondisi yang terjadi di fakultas hukum terkait dengan kegiatan belajar
mengajar di kampus.
Siang
itu, setelah aku selesai kuliah Hukum Acara Pidana, pemandangan di taman
fakultas hukum seperti biasa tidak ada perubahan sedikit pun kecuali jumlah
mahasiswa yang lebih banyak dari biasanya karena memang sibuk sepertinya untuk
memperbincangkan praktik peradilan perdata. Seperti biasanya memang menyita
waktu diluar jam kuliah karena memang membutuhkan usaha lebih untuk
memahaminya. Sungguh menarik suasan akademis itu, tapi sayangnya keadaan itu
tidak sebanding dengan sekitarnya. Mahasiswa lainnya yang tidak berkepentingan
dengan kegiatan praktik peradilan perdata sibuk dengan dunianya sendiri. Aku
melihat beberapa temanku memang sedang asyik chatting atau yang lain
sedang menikmati proses interaksi sosial di dunia maya. Sedangkan yang lainnnya
aku perhatikan pula sedang duduk-duduk di kursi depan kelas menanti mulainya
jam kuliah. Dan tetap saja perbicangan mereka tidak ada sama sekali yang
menyoal hukum. Padahal beberapa hari lalu di media cetak atau media elektronik
ramai dengan kasus Mesuji. Seolah tak ada yang peduli kecuali membicarakan tas
barunya bagi perempuan yang tak sengaja kudengar, kalau tak salah mereknya
GUCI. Entahlah. Tidak jauh berbeda yang
terjadi pada laki-laki disana, juga disibukan oleh kegiatan
berbincang-bincangnya yang terkesan
absurd, tidak jelas,
Pada
awalnya rutinitas itu, aku anggap biasa saja, tidak ada yang salah atau benar.
Semua terlihat normal-normal saja. Semua menjadi berubah ketika seorang dosen Hukum dan Ham
yang bernama Al Khanif yang kini melanjutkan studi S3nya di Inggris berbincang
banyak dengan ku. Sebelum berangkat dia menjelaskan padaku soal keadaan
mahasiswa fakultas hukum yang 95% pragmatis dan hanya sisanya yang peduli pada
perkembangan hukum. Tentu aku tidak ingin bercerita aku berada dalam posisi
yang mana sebab menjadi tidak menarik bahasan kita nanti. Beliau membukakan
mataku tentang kegiatan yang terjadi di kampus hukum ini. Kawan-kawanku
terbiasa untuk menjadi mahluk-mahluk asosial yang asik dengan dunia virtualnya.
Aku pun jadi teringat dengan kata-kata John Horgan dalam bukunya Senjakala Ilmu
Pengetahuan. Dia mengatakan “dalam proses interaksi sosialnya saat ini manusia
sudah tidak melulu melakukannya dengan tatap-tatap muka tetapi juga bisa
melakukannya melalui dunia virtual sehingga batas-batas teritorial sudah tidak
berlalu lagi karena manusia bisa berhubungan kapanpun, dimanapun sesuka hatinya”.
Memang
sangat positif proses kemajuan jaman itu. Tetapi sisi yang positif selalu
berdampingan dengan hal-hal yang negatif. Maka jelas sekali terlihat banyak
diantara kawan-kawanku yang menjadi asosial dengan gadget-gadgetnya. Sehingga
menambah jauh jarak kita pada ilmu hukum yang selama ini kita pelajari.
Rutinitas lain yang biasa kami lakukan diluar kelas biasanya berkumpul dan
kadang salah satu dari kami mencoba untuk memulai bahasan kita soal hukum
tetapi satu persatu coba untuk meninggalkan obrolan itu sedangkan yang bertahan
harus berdebat panjang lebar sehingga mereka menjadi tontonan mahasiswa yang
lainnya. Salah seorang dosen kami yang mengajar mata kuliah Hukum Acara Pidana
pernah mengatakan “Mahasiswa hukum tidak akan pernah bisa mencapai
kesepemahaman dengan pendapat yang lainnya dan memilik kecendenderungan untuk
berdebat sehingga tidak ada kesepekatan yang dicapai, yang ada hanya debat
kusir”
Semua
hal itu memang nyata dan sering kali kami harus berdebat panjang lebar. Mungkin
penamanan yang selalu kita terima dari para dosen-dosen yang kita pahami secara
mentah. Sebelumnya memang aku akui hal-hal yang menjadi topik perbincangan aku
dengan teman-temanku memang jauh dari pembahasan-pemabahasan hukum karena
memang secara tidak sadar kami menyepakatinya, perbincangan yang membahas soal
hukum kadang harus selesai di kelas saja tak perlu berlanjut sampai diluar
meski, tidak semua seperti itu tapi jika berbicara secara keseluruhan memang
fakta seperti itulah nyatanya. Jika berbicara soal hukum yang paling dekat,
sejauh aku menjadi mahasiswa hukum pada umumnya kami hanya memerbincangkan soal
tugas-tugas kuliah.
Cara
yang dilakukan untuk mengerjakan tugas-tugas kuliah, rata-rata para dosen
menyuruh kami untuk mengerjakannya dengan tulis tangan. Sungguh aneh dijaman
yang sudah semaju ini masih saja ada pola pikir seperti itu di kampus yang
katanya mendapat akreditasi A ini. Alasan-alasanya terlihat tidak masuk akal,
beberapa dosen berpendapat untuk menghidari praktik-praktik pragmatisme yang
kita kenal dengan istilah copy paste. Jika
itu alasannya toh tetap saja yang kita tulis juga hanya sebatas copy paste yang membedakannya hanya
tidak di print tetapi kami tulis. Lalu apa yang dicari? Untuk tidak plagiat pun
tidak bisa menjadi jaminan. Yang ada kami hanya disibukan dengan tugas-tugas
yang dikerjakan secara konvensioanl itu. Untuk apa semua itu dilakukan jika
memang tujuanya sendiri masih kabur kepastiannya atau mungkin dosen-dosen
fakultas hukum yang selama ini terkenal dengan feodalismenya juga anti pada
kemapanan sehingga menularkannya pada mahasiswa-mahasiswanya.
Kehidupan
sehari-hari mahasiswa fakultas hukum tidak jauh dari nilai-nilai pragmatisme.
Dengan sangat berat hati aku harus katakan itu. Hal ini dipertegas dalam proses
belajar mengajar di kelas. Proses yang tercipta hanya satu arah antara dosen
dan mahasiswa. Entah karena bahasan-bahasanya yang tidak bisa diikuti oleh
mahasiswa atau memang tidak adanya ketertarikan pada ilmu-ilmu yang diberikan
oleh dosen. Dosen hanya menerangkan dan kami hanya diam sambil sesekali
memperhatikan jika urusan kami dengan gadget-gadget kami sudah selasai atau
kami terlelap tidur setelah semalam harus bergadang. Alasan-alasan kami masuk
ke kelas hanya memenauhi syarat formalitas absensi daripada titip absen pada
teman, kami lebih memilih untuk masuk sendiri dikelas meski rasio ilmu yang
masuk dan yang tidak kami mengerti berbanding terbalik dengan kecenderungan
tidak mengerti.
Pada
akhirnya memang perlu kerja keras dari para dosen untuk menggugah
kesadaran mahasiswa yang tak kunjung
mendapat hidayah dari Tuhan itu. Beberapa manuver pola mengajar dilakukan oleh
pada dosen salah satunya dengan memodel
kelas dengan pola diskusi, memberikan siraman-siraman motivasi, membuat kelas
bebas dan hangat. Tetapi tak sedikit dosen yang sebelumnya konvesional dalam
memberikan tugas juga konvensional dalam mengajar dengan datang duduk dan
terpaku pada viewer, sedangkan mahasiswa lainnya seolah sedang mendengarkan
seorang yang sedang kotbah. Lalu tidak ada yang kami dapat.
Pak
Hanif juga mengatakan “Alangkah indahnya jika taman-taman, ruang baca, atau
ruang-ruang umum di fakultas hukum diisi oleh kegiatan mahasiswa yang memang
membangun dan berguna bagi proses pendidikan mereka sehingga akan menciptakan kondisi
kampus sebagai sentral akademisi yang hakiki”. Idealnya memang demikian, kami
seharusnya bisa melakukan banyak hal dengan fasilitas-fasilitas yang disediakan
kampus.
Tidak
ada yang salah jika taman-taman difakultas hukum dimanfaatkan sebagai tempat
kajian-kajian atau diskusi-diskusi yang menarik yang mencuat dimasyarakat
ditinjua dari segi hukum tanpa harus terjebak pada UKM mana yang berhak dan
berperan sebagai UKM kajian di fakultas hukum sehingga apabila kultur seperti
ini dibiasakan maka, kami selaku mahasiswa tidak lagi merasa terasing dengan
ilmu yang kami pelajari.
Kami juga tidak terasing pada realita yang ada
sehingga proses mempraksiskan teori-teori itu berjalan beriringan dengan
keadaan dilapangan, tak perlu turun kejalan, cukuplah kita menganalisa keadaan,
melakukan kajian-kajian dan itu sudah sangat membantu untuk melatih nalar
kritis kita sehingga pola pikir pragmatis tidak terlihat begitu dominan.
Analisis
kritis kita pada permasalahn hukum seoalah dapat menunjukan jati diri kita sebagai
mahasiswa hukum yang sebenarnya. Karena dalam memahami hukum tidak hanya
sekedar hafal pasal per pasal atau azas-azas hukum yang sudah diluar kepala
tetapi bagaimana penerapan nilai-nilai hukum mampu hidup dimasyarakat dan
dipahami oleh masyarakat awam dan meyakini hukum sebagai salah satu jalan
keluar dalam mengatasi permasalahan-permasalahan yang berkembang dimasyarakat.
Penerapan
aturan-aturan seperti UUD 1945, undang-undang, perpu dll terhadap kasus-kasus
hukum yang berkembang juga merupakan salah satu bagian dari proses interaksi
inteltual, antara kita dengan keadaan sosial yang ada dimasyarakat. Yang tak
kalah pentingnya juga bagimana kita sebagai calon-calon yang paham akan
nilai-nilai hukum mampu menerapkan nilai-nilai hukum yang tertuang dalam
undang-undang dengan benar dan sungguh-sungguh. Undang-undang atau sumber hukum
tertulis lainnya hanyalah sebatas rangkaian kata-kata yang tidak mempunyai
fungsi apapun jika tidak di aplikasikan, dalam arti mampu menjalankan fungsi
dan tugasnya sebagai pengatur.
Pemanfaatan
fasilitas-fasilitas di fakultas hukum saat ini kurang dimaksimalkan. Difakultas
hukum ada Pusat Kajian Hak Asasi Manusia yang bergerak sesuai dengan namanya
dibidang HAM. Lembaga Bantuan Hukum yang bergrak pada kegiatan pengabdian di masyarakat
dan masih banyak lainnya. Jika selama ini dosen yang lebih mendominasi, lalu
apa salahnya pula jika mahasiswa mencoba bejalar dan bekerja sama dengan dosen
sehingga mampu menciptakan hubungan yang fleksibel, dampak lebih jauhnya
kondisi itu mampu menghilangkan praktik-praktik feodalisme di kampus fakultas
hukum.
Diharapakan tidak ada lagi penghormatan pada
seorang dosen senior atau dalam istilah struktural guru besar dengan mencium
tangan atau bersalam sambil membugkuk baik itu oleh mahasiswa atau para
dosen-dosen muda itu sendiri. Tidak ada lagi dosen yang marah dan menghalakan
diri untuk mencaci mahasiswanya dengan mengatas namakan capaian akademik yang
harus dihargai ketika seorang yang bergelar Profesor, secara tidak sengaja oleh
mahasiswanya dipanggil “ibu atau bapak” bukan dengan panggilan “Prof” sebelum
namanya.
“Hem
Prof.”
Terlihat sangat teknis sekali, tapi jangan
sekali-kali bermain dengan api jika tidak ingin terbakar, mungkin istilah yang
tepat. Itu yang dimanamkan penghargaan? Penghormatan? Ketika seorang sekelas
profesor masih saja membutuhkan pengakuan meski seharusnya tanpa diminta pun
sudah jelas-jelas diakui tanpa harus terjebak pada praktik-praktik teknis
seperti itu. Cara menghargai yang jauh dari nilai-nilai akademis idealnya harus
dihilangkan dari sentral akademisi ini karena kampus bukanlah kerajaan yang
masih menjunjung hirarki yang statis. Apabila
proses belajar yang tidak hanya berpatron pada dosen sudah mampu teratasi maka
dampaknya akan terasa pada proses belajar mengajar di kelas.
Interaksi
yang tercipta tidak satu arah lagi tetapi dua arah dan menciptakan kondisi
belajar mengajar yang menarik dan membangun karena mahasiswa terpacu untuk
mencari diluar kelas. Hal ini sudah terbukti ketika aku mengikuti mata kuliah
Hukum Tenaga Kerja, dimana dalam proses belajar itu mahasiswa berperan lebih
dominan dikelas sedangkan dosen mampu menjalankan sebagai penyeimbang dalam
diskusi itu dan hasilnya pun kelas menjadi menarik.
Segala
sesuatu yang berhubungan dengan keidealan memang jauh dari kondisi yang
sesungguhnya. Pada nyatanya keadaan itu tidak sepuitis yang aku ungkapkan
sebelumnya. Kondisi mahasiswa hukum pada hari ini tidak terlalu berpihak pada
permasalah-permasalahan hukum atau jangan terlalu jauh aku berharap. Dari hal
yang paling kecil saja untuk sadar hukum saja sangat sulit rasanya. Kami
sebagai mahasiswa fakultas hukum yang mana hampir dikesehariannya selalu
berkaitan dan mempelajari hukum itu sendiri seolah masih gagap jika berhadapan
dengan aturan-aturan yang ada di negara ini.
Dalam
praktiknya masih saja mahasiswa hukum yang mengendari motor tanpa menggunakan
helm padahal sudah jelas di atur dalam undang-undang lalu lintas. Jika
dikembalikan pada kondisi kampus sekarang kita tidak bisa memampalingkan
pandangan kita dengan keadaan yang mana mahasiswa fakultas hukum terlampau
pragmatis. Oreintasi pada nilai sempurna meski secara pemahaman kosong, lulus
dengan IPK tertinggi lalu berkerja yang jauh dari ranah hukum. Bank-bank sudah
siap mengantri untuk mengajak kami bekerja sama setelah itu tamatlah idealisme
kita sebagai seorang mahasiswa fakultas hukum.
Selain itu kegiatan kampus yang jauh dari
esensi utama dari Hukum itu sendiri meneyebabkan permasalahan laten yang sulit untuk
disembuhkan yaitu sikap masa bodoh kita
pada realita hukum sudah menunjukan betapa kita memang pada akhirnya tidak bisa berbuat
apa-apa setelah lulus nanti.
Ketika
kampus tidak lagi digunakan sebagai sentral akademisi dan berganti rupa tak ubahnya seperti tempat
hiburan yang bertebaran dengan persaingan fasyen terbaru, gadget terbaru atau
motor terbaru yang semuanya terlihat material sekali sehingga dari itu semua
berakumulasi pada mahasiswa-mahasiswa yang ketika diberi tugas menganislis, memberikan
analisisnya secara dangkal atau mendekati dosen dengan materi-materi yang ada untuk
mendapatkan nilai terbaik. Praktik-praktik yang sebenarnya bertentangan dengan
nila-nilai hukum. Lagi-lagi aku terlampau puitis untuk menyandingkan yang ideal
dengan realitas.
Kedekatan
kami, pada dunia maya di satu sisi memang bermanfaat tapi disisi lainnya justu
membentuk kita menjadi mahasiswa-mahasiswa pemalas sehingga berdampak pula pada
upaya dosen untuk mengupgrade diri karena mahasiswanya serasa sudah cukup jika
dijejali ilmu-ilmu yang ala kadarnya hal ini terlihat ketika seorang dosen mata
kuliah perancangan undang-undang yang masih saja menggunkan aturan-aturan lama
padahal sudah ada aturan baru. ironis sekali hal itu terjadi di kampus yang dapat
akreditasi A. meski secara nyata berdampak positif ketika predikat itu melekat
pada fakultas hukum. tapi kita semua sepertinya perlu lebih kritis menangapi
itu semua.
Kadang
aku mencoba meraba-raba dan kadang pula berdiskusi dengan para dosen-dosen dan
mahasiswa yang masih bisa diajak bicara soal kondisi kekinian di fakultas
hukum. Mengapa banyak yang terlihat apatis dan pragmatis sampai-sampai
mahasiswa yang mencoba untuk kritis tertutupi. Hal ini kan jelas bahwa lebih banyak
yang tidak sadarnya dibandingkan dengan yang sadar-maaf sebelumnya aku
menggunakan istilah sadar dan tidak sadar karena mungkin itu yang
lebih halus- alasan pertama yang aku tangkap adalah faktor internal, kesadaran
menjadi kunci utamanya karena hal ini
berkaitan dengan faktor yang muncul dari dalam diri masing-masing individu.
Kesadaran
rata-rata mahasiswa kuliah difakultas hukum kadang sangat kurang-buktinya sudah
dijelaskan diatas- akhirnya berdampak pula pada kondisi kampus yang tidak lagi
menelurkan kader-kader hukum yang berkualitas kalau lebih puitis dan romantis
yaitu dikenal dengan istilahnya agen of change atau agen of control social.
Memang, ada kesadaran yaitu bagaimana cepat lulus dan bekerja dengan cepat
sehingga menghilangkan agenda-agenda yang harus dilalui untuk menciptakan
sebuah proses yang sistematis.
Kesadaran
ini membentuk cara pandanga mahasiswa, ketika cara pandanga mahasiswa tidak
searah dengan kesadaran sebagai mahasiswa yang seharusnya dan fungsinya sesusai
dengan Tri Dharma Perguruan Tinggi (anggaplah Tri Dharma perguruan tinggi
sebagai barometernya). Sehingga pola pikir pragmatislah yang memperparah
keadaan dikampus. Meski sebenarnya aku tidak terlalu melihat semua itu menjadi
permasalaham serius tapi jika melihat dampak-dampaknya yang tercipta secara
sistematis sungguh sangat mengerikan dan memprihatinkan. Cara pandang mahasiswa
dalam kehidupan sehari-hari perkuliahan memang terlihat sangat pragmatis dan
apatis. Sehinnga ketika berbicara permasalahan bersama selesailah dalam tataran
kepasifan karena memang dirasa tidak ada hubungannya dengan kita. Mungkin itu
sepenggal dari cara pandang mahasiswa fakultas hukum yang berkaitan dengan
internal masing-masing individu.
Jika
sebelumnya berbicara faktor internal, maka pada aku pun mencoba berargumen soal
fakor-faktor eksternal. Yang paling mudah dibaca adalah bagaimana proses
penerimaan masuk mahasiwa hukum yang terkesan asal comot saja sehinnga lebih
mementingkan kuantitas dari pada kualitas. Meski sekali lagi aku tidak
berbicara secara memukul rata tetapi lebih pada aspek yang lebih dominan. Dalam
proses masuk untuik menjadi mahasiswa fakultas hukum ini melalui beberapa
tahapan yang mana aku sendiri tidak tau transparansinya tapi jika dilihat dari
jumlah mahasiswa Drop Out (DO) setiap tahunnya yang tidak kurang dari angka 50
orang per angkatan kan sudah menunjukan betapa sistem perekrutan mahasiswa baru
tersebut bisa dikatan tidak berkualitas.
Meski
ada alasan lain seperti tidak bisanya
mahasiswa yang terkena DO itu untuk mengikuti proses belajar mengajar di
fakultas hukumtapi jika bicara akibat alangkah bijaknya jika jika kita juga
bicara sebab. Sepertinya memang proses
penyaringan mahasiswa barulah yan memang tidak berkualitas untuk menjaring
mahasiswa-mahasiswa yang berkualitas sehingga membentuk sebuah kultur yang
bagus bagi perkembangan di almamter
tercinta ini.
Dampak
yang sangat terasa pada hari ni jika melihat kondisi mahaiswa fakultas hukum
yaitu hilangnya kultur hukum yang ada di tengah-tebngah mahasiswa fakultas
hukum. bentuk nyatanya memang sudah sejak awal aku tunjukan dan diakumulasikan
dalam sebuah kesimpulan kecil bahwa mahasiwa hukum memang semakin terasing dari
ilmunya dan masyarakat, lingkungan sekitasnya sehinnga semkin mengokokohkan
citra kampus sebagai menara gading yang menjulang di tengah-tengah masyarakat.
Tidak
salah jika melihat sebabnya di kampus ini ketika aku berbicara lebih luas bahwa
hancurnya supremasi hukum di Indonesia ini sudah dimulai dari dunia kampus
karena mahasiswa terbiasa dengan keadaan-keadaan yang instan yang mana
membentuk semangat dan etos yang tidak bisa mengikuti perkembangan jaman.
Hukum
bukan lagi jadi sebuiah jawaban dalam setiap permasalahan tetapi menjadi
permasalahan-permasalahan baru yang mencuat. Kita semua tau dan paham bahwa
ketika b erbicara dengan Jaksa atau
Hakim maka identik dengan suap, begitu pula dengan aparat penegak hukum
lainnya seperti Polisi yang sibuk
menembaki rakta daripada menegakan hukum dengan kokoh atau pengacara yang sibuk lobi sana sini untuk
memenangkan kasusnya. Huku formal seoalah hany indah dalam teks-teks saja.
Sumber hukum tertulis semacam Undang-Undang juga ribut dijadikan lahan bisnis
baru oleh para elit poltik.
Negara
Indonesia hanya pandai membuat Undang-Undang tetapi dalam menerapkan dan
mengapilkasikannya sangat sulit dan akhirnya hanya menjadi sampah-sampah
intelektual saja yang menghabur-hamburkan uang negara yang tentunya juga uang
rakyat. Belum lagi Mahkamah Kontitusi yang mana fungsi utamanya sebagai jangkar
dalam penegakan konstitusi negara ini rentan di tunggangi kepentingan asing.
Bukti nyatanya ketika ada undang-undang yang merugikan pengusaha buru-buru
dilakukan Judicial review sedangkan coba tengoklah undang-undang Penanaman
Modal Asing yang dibuat sejak dekade 70an sampai sekarang tidak ada yang berani
untuk mengujikannya padahal kita semua tahu bahwa kerugian negara bukan lagi
menjadi rahasia umum besarnya. Contoh kasusnya kekayaan negara yang dicuri oleh
Amerika melalui Freeportnya dibiarkan begitu saja tanpa ada yang bergeming.
Sungguh
mau sampai kapan kegalauan bangsa ini pada generasi penerusnya dibiarkan begitu
saja. Ketika kita, kami, aku sebagai mahasiswa yang ngakunya sebagai mahasiswa
hukum yang secara otomatis sehari-harinya berhubungan dengan kultur hukm yang tegas, yangh tidak pandang
kompromi maka wajarlah kita mencoba untuk membiasakan diri untuk itu. Mengkritisi
hal-hal yang berkaitan dengan hukum yang berkembang di masyarakat[].
Melakukan kritik terhadap budaya
populer. Joanne Hollows, dosen senior dalam kajian Media dan Budaya di Notingam
Trent University, mengidentifikasi beberapa pendekatan feminis kunci terhadap
budaya populer dari tahun 1960 sampai 1990. Melalui buku ini Joanne juga
menunjukkan bagaimana hubungan antara feminisme, feminitas, dan budaya populer
sering bermasalah satu sama lain. Pertentangan antara feminisme dengan
feminitas karena feminitas dianggap memperlemah posisi dari feminisme, dinama
kita semua sudah ketahui bahwa feminisme semacam gerakan politik sedangkan
feminitas lebih bersifat keperempuanannya yang terjebak pada pemahaman seperti
yang digambarkan pada buku The Feminine Mystique, Betty Friedan yang secara langsung mencitrakan perempuan dalam pandangan
tradisional yang menyatakan bahwa “ nilai tertinggi dan satu-satunya komitmen
bagi perempuan adalah pemenuhan feminitas, usaha untuk memenuhi ‘potensi
feminim’ mereka menyebabkan banyak gejala-perasaan gagal, ketiadaan. Perempuan tidak lagi merasakan identitas
dirinya sendiri karena didorong untuk memandang diri mereka sendiri hanya
sebagai seorang istri atau seorang ibu. Kaum feminis jelas menolak hal
tersebut, upaya yang dilakukan untuk mengubah hubungan kekuasaan antara
laki-laki dalam berbagai isu akhirnya dapat menjadi “sia-sia” karena perempuan
terlalu terjebak oleh pencitraan-pencitraan yang berkembang dalam masyrakat.
Budaya populer memiliki peranananya dalam proses pencitraan ini. Joanne
memperkenalkan gagasan utama tentang feminisme gelombang kedua dan feminisme
cultural studies, kemudian memaparkan perdebatan kalangan feminis dalam
mendekati budaya populer pada beberapa kasus kajian: film perempuan, fiki
romantis, opera sabun, budya konsumsi danmaterial, praktik fashion dan
kecantikan; juga budaya anak muda dan musik pop. Sebelum melihat lebih jauh perdebatan
feminis terhadap budaya populer Joanne menggaris bawahi bahwa identitas
feminisme merupakan produk dari konteks historis tertentu [AA1].
Media khususnya Televisi memiliki
peranan penting dalam proses pencitraan itu,sulit disanggah bahwa televise merupakan media yang paling banyak
diakses oleh warga, jauh diatas media-media lain seperti Koran, radio, dan
buku. Dari hasil-hasil dan analisis tentang perempuan dalam layar kaca yang
berperspektif gender selama ini menyimpulkan bahwa sebagian besar tayangan
perempuan dalam berbagai acara mampu mengkonstruk cara pandang perempuan dalam
memandang feminitas. Akibat dari peran-peran media dalam proses pencitraan
tradisional yang dijelaskan the feminime mystique, perempuan telah dibatasi
oleh media, sehingga gerakan perempuan tidak leluasa sebagai contohnya saja
perempuan diindentikan dengan pekerjaan rumah tangga, melayani suami dan
menjadi ibu yang baik.
Dalam perkembangannya televisi
dijadikan wadah untuk menampilkan film-film.Kritik feminis pada kasus film perempuan misalnya. Bagaimana film-film
diproduksi dan menempatkan perempuan sebagai objek. Keberadaan perempuan
dinilai dari sejauh mana dia tampil dengan watak femininitas yang ditonjolkan.
Demikian pula fiksi romantis yang mereproduki budaya patriarki. Perempuan
disuapi dengan cinta sejati. Fiksi romantic menawarkan mimpi-mimpi utopia akan
dunia yang lebih baik. Fiksi romantis dinikmati sebagai fantasi yang mungkin
perempuan alami kalau kebahagiaan memenuhi hubungan pencitraan. Fiksi romantic
mampu mengkontruksipemahaman kaum
perempuan sehingga terlena oleh kisah-kisah yang ditawarkan sehingga perempuan
menjadi tidak sadar bahwa keberadaannyaOpera sabun yang membahayakan kesadaran politik perempuan. Praktik
fashion dan kecantikan yang telah mendikte perempuan untuk diarahkan. Pada
kutub yang lain, budaya anak muda serta musik pop, terus menerus memproduksi
ilusi-ilusi tentang kebahagiaan, kesedihan, dan aneka macam bentuk budaya yang
menghilangkan kreatifitas.