Kamis, 15 Maret 2012

Aku Bukan Bencong Sapoy tapi aku Bencong Kuli



“Kenapa aku dilahirkan ke dunia jika di dunia ini aku identik dengan caci maki dan hinaan?”.  Itu pertanyaan pertama yang ingin aku Tanya pada sang penciptaku. Entah apa yang salah denganku ketika banyak orang dengan mudahnya memandang ku sebagai bagian dari “kehinaan”.  Terlalu parahkan labelingnya? Aku rasa itu tidak, karena menjadi keseharianku yang biasa ku terima. Kata-kata si Banci, bencong  atau ejekan-ejekan sarkas sudah biasa mengaung-gaung digendang telingaku.
Nama asliku Dofir, laki-laki satu-satunya dari empat saudara perempuan. Tetapi sejak kecil aku ingin menjadi sosok yang lainnya, tidak sama dengan laki-laki lainnya disekitar lingkungan rumahku. Aku merasa lebih seperti kakak perempuanku, aku lebih nyaman ketika bermain boneka atau aku lebih suka membantu ibu memasak di dapur daripada aku bermain sepak bola atau bermain sepedah mencari burung di gumuk depan rumah. Bukan itu yang biasa ku lakukan, itu bukan permainanku, meski lazimnya laki-laki  yang katanya tulen memainkan hal-hal itu tapi sekali lagi aku tidak suka, benar-benar tidak nyaman. Lalu pada hari ini ketika hari terus berganti, tahun pun berganti semua berganti dan waktu tetap bergeming untuk membawaku pada posisi yang diperlakukan secara memanusiakan manusia. Keadaan menjadi lebih parah, stigma masyarakat tentangku terlalu sinis, lalu apa yang salah dengan ku? Apa aku salah ketika kelaki-lakian ku harus tersisihkan dengan sisi feminisku? Apa itu salah? Lalu siapa yang berhak menyalahkan atau membenarkan? Aku rasa tidak ada. Tidak ada yang berhak untuk menilai dengan pandangan yang begitu sempitnya dengan standarisasi benar dan salah, hitam dan putih, berisi dan kosong.
Sudah beranjak pada masa-masa dimana aku semakin bimbang memilih. Sepertinya Tuhan menakdirkan aku dengan cara yang tidak tepat.  Badanku laki-laki yang kekar, sedangkan jiwa ku terlalu lembut jika harus disamakan dengan kain sutera Cina. Kini, aku mencoba untuk menjadi diriku sendiri ditengah kondisi yang tidak tepat atau bahasa lainnya soal tubuhku yang laki-laki ini. Jauh lebih baik dan sangat mewakili kepribadianku jika aku dipanggil Firda. Nama yang identik dengan perempuan. Itulah diriku, yang tidak ingin tunduk pada norma-norma yang dimaknai secara parsial yang merendahkan manusia yang juga sama-sama terlahir dari rahim seorang ibu. Terlalu lama aku terbelenggu ditengah kebiasaan-kebiasaan itu yang pada akhirnya aku harus menjadi munafik. Tidak menjadi diri sendiri, aku juga ingin merasakan bagaimana merasakan menjadi Firda yang sesungguhnya  dengan bedak, lipstick atau hotpens, tanpa harus takut dicibir oleh tentangga. Aku juga menjadi diri sendiri berkerja di salon atau di butik, tempat dimana kawan-kawan yang dimarjinalkan seperti aku ini berkerja.
Apa daya, harapan hanya sekedar harapan. Berharap untuk menjadi diri sendiri sangat sulit sekali kulakukan. Dari hal pendidikan saja  aku tidak  terlalu tinggi dalam berproses, hanya SMA . Itu pun dengan kondisi yang terseok-seok.  Kondisi keluargaku tidak terlalu baik soal ekonomi, yang pada akhirnya aku harus banyak menahan diri untuk merealisikan cita-citaku. Hal itulah yang mendorongku untuk berkerja dengan cara dan kemampuan yang ku punya. Apalagi kalau buka tenaga, sebab orang miskin itu hanya punya tenaga yang tidak ada hentinya. Jika memang pendidikan tidak menunjang. Ya, apalagi kalau bukan menjadi buruh kasar dalam setiap proyek-proyek pembangunan. Meski banyak orang mengatakan aku ini bencong, tetapi bukan berarti aku ini lemah. Aku masih bisa mencari rumput untuk ternak milik pak haji, atau aku terbiasa pula mengankat-angkat pasir, mengaduk adonan semen atau apalah itu yang juga dilakukan oleh laki-laki tulen. Semua kulakukan atas dasar kebutuhan ekonomi yang mendesak. Tidak mungkin hanya karena egoku dengan lebih condong sisi kewanitaanya aku tidak bisa berbuat sesuatu untuk keluargaku yang menjadi benteng terkuatku ditengah cibiran masyarakat yang sok tau  itu.
Meksi aku berkerja kasar tetapi tetap saja aku adalah Firda yang berlajar menjadi diri sendiri, meski badanku kekar, kulitku legam tapi aku tetap percaya diri dengan bedak yang tebal, bibir yang merah merona dan bubuk-bubuk putih yang ku usapkan disekujur tubuhku, kulalukan itu agar dapat mengurangi kelegaman kulitku. Tanpa sadar, ketika aku melihat cermin, memang benar pendapat orang-orang dijalanan ketika malam hari, ketika aku melakukan perkerjaan sambilanku yaitu mengamen, bahwa aku memang begitu menakutkan, seperti dakocan. Tapi tak peduli dengan itu semua aku lebih suka kondisiku saat ini dimana aku sudah beranjak pada ketitik nol-an ku. Menjadi manusia yang dimarjinalkan masyarakat tetapi tetap percaya diri.
Malam hari memang menjadi sahabat setiaku, ketika siang aku harus bersahabat dengan peluh-peluh yang berkucuran, tapi dimalam hari aku mengakbrabi jalanan dengan memaksimalkan suara pas-pasanku . Lumayanlah untuk beli bedak dan keperluan kewanitaanku. Dari mana lagi aku harus memenuhi kebutuhan domestiku. Upah yang kudapat disiang hari aku berikan pada ibu untuk bantu-bantu keuangan keluargaku. Adik-adikku banyak dan aku harus bertanggung jawab dengan mereka, jangan sampai mereka merasakan kesedihan yang terlalu mengakrabiku. Cukuplah aku. Biarkan aku yang pada akhirnya dibuat kuat oleh kekejaman itu sendiri. Biarkan aku bersahabat dengan kegetiran agar aku benar-benar menjadi diri sendiri. Terlalu capek aku menjadi munafik. Aku adalah seorang transsexual, tapi bukan berarti aku sangat murahan dengan melacurkan mulutku  untuk memenuhi nafsu laki-laki normal itu. Perkejaan kasar jauh lebih baik, mengamen juga sebagai salah satu solusi tambahan untuk mengatasi permasalahan keuanganku.

Sabtu, 10 Maret 2012

Surat Untuk Ayah dari Anakmu yang tidak lagi sejalan denganmu!


“anugerah terbaik adalah mati muda, berbahagialah mereka yang mati muda”. Itulah sebaik puisi dari Soe Hok Gie, yang aku lupa judulnya.  Awalanya dari puisi itu hanya kumaknai sekedar dari sisi gramatikal, tapi lama aku berpikir untuk menemukan makna yang lebih dari sekedar itu. Pengungkapan makna puisi yang langsung saja semua itu mengingatkan ku pada sosok Ayahku. Bukan” mati mudanya” yang  diartikan secara langsung. Tetapi makna tersembunyi “mati muda, berbahagialah mereka yang mati muda?”.  Memang pada akhirnya aku harus meyakini apa yang ku dapat tentang makna mati muda itu. Mati muda bukan berarti menyerahkan diri dalam takdir yang selalu menantang, yang akhirnya frustasi dalam ketidakmampuan diri sehingga terasing dalam sudut-sudut yang  munafik dan pengecut.  Bukan, bukan itu aku dan Soe Hok Gie maksud. Mati muda adalah pilihan diri yang lian. Yang tetap pada konsistensi dalam menjungjung makna idealism yang akhirnya bermetamorfosis dalam prinsip hidup yang tidak bisa di ganggu gugat meski itu sebagai pilihan yang sulit. Pilihan yang sulit aku tegaskan sekali lagi yaitu “BUNUH DIRI KELAS, MUTASI SOSIAL”. Hal itu yang Soe Hok Gie lakukan sehingga dia lebih baik di asingkan dari pada tunduk pada kemunafikan. Gie bukan terlahir sebagai pengecut  yang lari dari kenyataan, tapi Gie melawan kenyataan yang tidak berpihak padanya dengan tidak berurusan dengan api kepentingan yang pragmatis.Gie sadar betul ketika melihat kawan-kawan seperjuangannya akhirnya tunduk pada system yang menurut Gie tidak jauh berbeda dengan rezim  yang dulu Gie lawan. Sehingga ‘dari pada dia berada dalam kondisi yang bisa membuat dia “kalah”, Gie lebih bangga “mati muda” di Mahameru.  
Kembali pada sosok Ayahku. Tidak berbeda jauh esensi yang dilakukan Gie dengan Ayahku selain jamannya dan pilihan Gie yang akhirnya harus menghirup udara terakhirnya di puncak Mahameru di usianya ke 27 tahun. Ayahku lebih hebat dari itu semua. Ayahk tidak mengasingkan dari di tengah kemnunafikan, tidak pula memilih jalan seperti Gie. Tetapi Ayahku mengendap-endap bagai Harimau lapar memasuki ruang kemunafikan yang berstruktur rapih. Dia bukan untuk menjadi bagian pelacur-pelacur yang jauh tidak terhormat dari PSK. Dia bukan pula datang untuk menjadi sosok yang mengikrarkan diri dalam panggung pengumunan yang di tonton ribuan rakyat yang sudah muak dengan alibi-alibi busuk yang tak berujung. Ayahku tetap Ayahku dengan kesederhanaanya untuk memilih mutasi sosial dan lebih bangga mengumpulkan kerikil-kerikil kecil, bergerak dari sudut-sudut termarjinalkan untuk memukul penguasa yang lapar akan kepentingan busuk. Sudah terbukti. Tapi aku tidak ingin bercerita soal itu, biarlah di lain waktu saja.
Aku yaikin seyakin aku punya keyakinan, memilih untuk menjadi Ayahku sangat sulit untuk dijalani karena pilihan untuk selalu menjadi sederhana, entah pada definisi sederhana baginya?. Masih dengan keyakinanku “ hidupnya seharusnya seharusnya jauh lebih baik dari sekedar hari ini”. Dengan nada keras Ayahku menjawab “ apa kau mau hidup dari hasil melacur?”. Melacur? Konotasi apalagi yang dia yakini. Entahlah aku selalu meraba-raba dalam ruang yang absurd. Dalam pilihan Ayahku itu ada dampak yang kadang membuat ku menggerutu. Dulu ketika aku masih SMA, kadang aku harus menahan diri untuk bisa menimati masa mudaku dengan lepas, bukan karena pengekangan tapi soal klasik yang setiap kepala di dunia ini butuhkan. Aih, aku harus juga menjadi sederhana, wajarlah mungkin ketika di usia ku yang masih ababil (ABG LABIL) kadang tertusuk oleh rasa galau karena tidak bisa dengan leluasa “memanfaatkan” orang tua untuk menikmati hidup di masa muda. Aku harus menabung untuk membeli apa yang ku mau, yang ku mau di anggap sebagai kebutuhan tersier, yang ayahku yakini, bahwa kebutuhan yang ada itu hnya kebutuhan Primer saja. Mungkin dulu ketika SMP tidak pernah masuk pelajaran Ekonomi  atau gurunya lupa tidak mengajarkan tentang kebutuhan-kebutuhan manusia itu di klasifikasikan menjadi tiga macam. Entahlah.  Sampai untuk beli handphone aku nabung dari uang sakuku yang hanya 3000 ukuran yang sangat sedikit ketika aku SMP karena harus dibagi oleh ongkos, terpaksa hampir setahun aku harus Manahan diri untuk tidak jajan di sekolah dan kadang saja ketika ada uang lebih, selain itu aku harus memutar otak untuk bisa dapat uang, jalan satu-satunya aku harus memanfaatkan anugerah pemberian Tuhan, apalagi kalau bukan otak manusia yang senantiasa untuk terus berpikir dan berpikir, ku memulainya dengan berjualan makalah pada teman-teman yang malas untuk mengerjakan tugas-tugas dan benar saja sangat membantu. Kisah itu hanya banyak cerita untuk mandiri, yang pada hari aku kenal  sebagai BERDIKARI. Dan yang terakhir ini aku pun menabung untuk mendapatkan Laptop, dan alhamdulilah dengan uang bulanan 500ribu, dipotong makan, photocopy, uang kost pula aku berhasil membelinya sendiri. Kebiasaan ku dari sejak SMP untuk selalu berusaha sendiri akhirnya memang membuahkan hasil, ketika dulu aku menabung karena yakin tidak di kasih,sekarang aku menanbung karena aku malu untuk meminta, aku tidak ingin menjadi benalu itu saja. Prinsip hidup yang di dapat karena proses panjang. Ketika dulu aku  merasa “iri” pada teman-temaku karena aku harus banyak bersabar ketika mengingkan sesuatu karena orang tua ku berbeda pandangan soal apa yang ku mau, sekarang aku bangga dan senang berhasil memenuhi kebutuhan ku diluar kebutuhan pokokku secara mandiri dengan usaha yang beraneka ragam. Aku bangga tidak menyusahkan orang tua.
Dari semua itu aku belajar soal makna berjuang, makna untuk bisa hidup dimanapun kita berpijak. Manfaatnya didapat sekarang ini ketika aku jauh dari orang tua. Proses pendidikan yang aneh tapi terbukti ampuh, haha. Aku jadi teringat pada celoteh Pidi Baiq, mantan vokalisnya The Panas Dalam “anak-anak memang butuh uang, tapi lebih butuh untuk menjadi bangga pada Ayahnya”. Benar sekali yang jauh lebih besar dari semua itu kebangga pada sosok ayahnya yang juga ku cari-cari sendiri. Karena ayahku bukan ayah yang suka mendongen atau bercerita tentang kisahnya. Sehingga komunikasi dengan anak-anaknya pun sangat terkesan formal banget. Khususnya denga aku ini. Tapi tak apalah, mungkin dia mendidik anaknya dengan cara yang berbeda-beda sesuai dengan karakternya.
Kembali pada makna mati muda, entah sejak kapan Ayahku memaku diri dalam prinsip yang tidak ingin “kaya” jika tolak ukurnya adalah materi. Memang konsistensi menjadi jawabannya. Ayahku telah membuat anti tesis terhadap puisi Gie, Ayahku tidak mengasingkan diri dari kemunafikan tapi Ayahku melawan kemnufikan. Dia tidak mati muda, tapi sering untuk dimatikan. Sering kalinya nyawanya dipertaruhkan untuk konsistensinya yang tidak pernah menemukan titik ujungnya. Bahkan dalam suatu kisah, kita sekeluarga pernah terpanggang  habis jika saja mamahku tidak sadar bahwa rumah kita sedang dilalap api. Ayahku tidak gentar, dan kami, aku pun tidak sedikitpun merasa gentar  sediikit pun bahkan semakin memacu untuk meningkatkan laju perlawanan Ayahku. Istimewa benar.   
Kini ayah menginjak usia senja, sampai sejauh ini aku meraba-raba sampai kapan kau akan terhenti pada satu titik konsistensimu. Aku sama sekali tidak pernah tau dan tidak bisa menebaknya karena itu hanya menambah tanyaku. Terlepas dari semua masalah yang dulu tidak pernah kita sepakati aku bangga pada mu, yah. Sangat bangga. Meski kita harus berdebat panjang untuk menemukan kesimpulan akan tujuan hidup, meski dulu kau seriang lupa memperlalkukan dengan wajar anakmu ini, meski pada nyatanya kita memang berbeda. Sekali lagi ku tegaskan pada mu. Yah, aku bangga menjadi anakmu. Memang aku harus jujur Ayahku memang tidak banyak mengajarkan ku banyak hal tentang nilai-nilai kehidupan ini pada ku. Sampai pada hal itu pula aku harus mencari sendiri dalam liku-liku Tanya yang dipecahkan oleh realita yang ku temukan. Tapi semua itu membuatku belajar dan belajar. Jujur saja yah, aku tidak bisa untuk menjadi seperti mu, karena memang aku tidak mau, tapi aku banyak belajar darimu soal konsistensi, soal makna berjuang dalam tataran praksis membuat yang tidak realistis di awalnya dan menjadi realistis di akhir. Semua itu hanya ku temukan di Ayahku saja. (maaf mah, aku tidak sedang menulis tentang mu). Terimakasih atas semua karya mu yang juga harus kubenturkan pada anti teas-anti tesa realita yang jauh dari sisi ideal, kutegaskna sekali lagi kau menjawab itu dengan tindakan nyata.
Ini yang terakhir, aku hanya ingin member tahu pada mu sebagai Ayahku. Hampir selama 9 bulan aku berada dalam proses magang yang panjang di Lembaga Pers Mahasiswa Tegal Boto, dimana aku belajar banyak tentang hal-hal yang baru yang lebih menarik. Pada minggu ini, aku mencapai titik zenit dalam pencampain awal menjadi bagian dari mereka. Aku di terima oleh mereka setelah seleksi yang sangat ketat apalagi kalau bukan karena statusku sebagai mahasiswa ekstra. Pada awalnya memang ada ketakutan pada ku, karena aku di khawatirkan menjadi penyusup dan merusak organisasi Tegalboto, tapi aku berhasil meyakinkan semua pihak bahwa niatku bergabung dengan Tegalboto hanya untuk belajar dan menimba pengalaman. semua terjawab kini aku dipercaya sebagai REDAKTUT PELAKSANA DIVISI WACANA. Aku menjadi GmnI kedua yang dalam sejarah TegalBoto yang berhasil menembuh jajaran redaksi, kini aku resmi menyandang sebagai Wartawan Kampus meksi tulisanku banyak dicaci dan di maki tapi ini belajar . aku masih dalam proses menulis bagus. Mereka menerima ku bukan karena tulisanku yang bagus tapi karena mereka ingin aku merubah gerakan TB untuk lebih progresif.
Salam untuk mamahku dan adik-adikku. Sayangilah mereka!!!!
k

Hilangnya Kultur Hukum di Fakultas Hukum


Hilangnya Kultur Hukum di Fakultas Hukum
Gulfino Guevarrato


Sudah menjadi pemandangan yang biasa difakultasku ini, ketika taman fakultas yang teduh di penuhi oleh mahasiswa-mahasiswa yang sibuk dengan ‘dunia’ dan kepentingannya masing-masing. Fakultas hukum merupakan tempat para calon praktisi-praktisi hukum, akademisi, politisi, penguasa,  atau hanya sebatas suka pada hukum. Pada intinya beragam tujuan  dibawa masuk untuk menempuh pendidikan hukum di fakultas hukum. Aku jadi teringat dengan kata-kata seorang filsuf Romawi, yang bernama Cicero “ Ibi Ius Ibi Societas” artinya dimana ada perkembangan masyarakat maka disitu ada pula hukum yang tumbuh. Sehingga seluruh segala aspek yang berkembang di masyarakat selalu identik dengan hukum karena memang fungsi hukum yang mengaturnya.
Aku teringat pula dengan Undang-undang dasar 1945 Pasal 1 ayat 3 yang berbunyi “ Negara Indonesia adalah negara hukum”. Betapa pentingnya hukum di negara ini sampai-sampai dijamin oleh Undang-Undang Dasar 1945 dan juga dibuktikan oleh doktrin-doktrin para ahli yang mempertegas perananan hukum bagi perkembangan dan kemajuan masyarakat. Mungkin alasan-alasan tadilah yang melatar  belakangi banyaknya calon mahasiswa baru mendaftar ke fakultas hukum untuk berusaha menjadi calon-calon ahli hukum. Entah itu sebatas kuliah atau memang benar-benar kuliah untuk menjadi seorang yang ahli hukum dan berusaha menegakan hukum sebenar-benarnya dan seadil-adilnya. Oh puitis sekali. Sampai-sampai aku lupa kalau ada yang berbeda dengan kondisi yang terjadi di fakultas hukum terkait dengan kegiatan belajar mengajar di kampus.
Siang itu, setelah aku selesai kuliah Hukum Acara Pidana, pemandangan di taman fakultas hukum seperti biasa tidak ada perubahan sedikit pun kecuali jumlah mahasiswa yang lebih banyak dari biasanya karena memang sibuk sepertinya untuk memperbincangkan praktik peradilan perdata. Seperti biasanya memang menyita waktu diluar jam kuliah karena memang membutuhkan usaha lebih untuk memahaminya. Sungguh menarik suasan akademis itu, tapi sayangnya keadaan itu tidak sebanding dengan sekitarnya. Mahasiswa lainnya yang tidak berkepentingan dengan kegiatan praktik peradilan perdata sibuk dengan dunianya sendiri. Aku melihat beberapa temanku memang sedang asyik chatting  atau yang lain sedang menikmati proses interaksi sosial di dunia maya. Sedangkan yang lainnnya aku perhatikan pula sedang duduk-duduk di kursi depan kelas menanti mulainya jam kuliah. Dan tetap saja perbicangan mereka tidak ada sama sekali yang menyoal hukum. Padahal beberapa hari lalu di media cetak atau media elektronik ramai dengan kasus Mesuji. Seolah tak ada yang peduli kecuali membicarakan tas barunya bagi perempuan yang tak sengaja kudengar, kalau tak salah mereknya GUCI. Entahlah. Tidak jauh berbeda  yang terjadi pada laki-laki disana, juga disibukan oleh kegiatan berbincang-bincangnya  yang terkesan absurd, tidak jelas,
Pada awalnya rutinitas itu, aku anggap biasa saja, tidak ada yang salah atau benar. Semua terlihat normal-normal saja. Semua menjadi  berubah ketika seorang dosen Hukum dan Ham yang bernama Al Khanif yang kini melanjutkan studi S3nya di Inggris berbincang banyak dengan ku. Sebelum berangkat dia menjelaskan padaku soal keadaan mahasiswa fakultas hukum yang 95% pragmatis dan hanya sisanya yang peduli pada perkembangan hukum. Tentu aku tidak ingin bercerita aku berada dalam posisi yang mana sebab menjadi tidak menarik bahasan kita nanti. Beliau membukakan mataku tentang kegiatan yang terjadi di kampus hukum ini. Kawan-kawanku terbiasa untuk menjadi mahluk-mahluk asosial yang asik dengan dunia virtualnya. Aku pun jadi teringat dengan kata-kata John Horgan dalam bukunya Senjakala Ilmu Pengetahuan. Dia mengatakan “dalam proses interaksi sosialnya saat ini manusia sudah tidak melulu melakukannya dengan tatap-tatap muka tetapi juga bisa melakukannya melalui dunia virtual sehingga batas-batas teritorial sudah tidak berlalu lagi karena manusia bisa berhubungan kapanpun, dimanapun sesuka hatinya”.
Memang sangat positif proses kemajuan jaman itu. Tetapi sisi yang positif selalu berdampingan dengan hal-hal yang negatif. Maka jelas sekali terlihat banyak diantara kawan-kawanku yang menjadi asosial dengan gadget-gadgetnya. Sehingga menambah jauh jarak kita pada ilmu hukum yang selama ini kita pelajari. Rutinitas lain yang biasa kami lakukan diluar kelas biasanya berkumpul dan kadang salah satu dari kami mencoba untuk memulai bahasan kita soal hukum tetapi satu persatu coba untuk meninggalkan obrolan itu sedangkan yang bertahan harus berdebat panjang lebar sehingga mereka menjadi tontonan mahasiswa yang lainnya. Salah seorang dosen kami yang mengajar mata kuliah Hukum Acara Pidana pernah mengatakan “Mahasiswa hukum tidak akan pernah bisa mencapai kesepemahaman dengan pendapat yang lainnya dan memilik kecendenderungan untuk berdebat sehingga tidak ada kesepekatan yang dicapai, yang ada hanya debat kusir”
Semua hal itu memang nyata dan sering kali kami harus berdebat panjang lebar. Mungkin penamanan yang selalu kita terima dari para dosen-dosen yang kita pahami secara mentah. Sebelumnya memang aku akui hal-hal yang menjadi topik perbincangan aku dengan teman-temanku memang jauh dari pembahasan-pemabahasan hukum karena memang secara tidak sadar kami menyepakatinya, perbincangan yang membahas soal hukum kadang harus selesai di kelas saja tak perlu berlanjut sampai diluar meski, tidak semua seperti itu tapi jika berbicara secara keseluruhan memang fakta seperti itulah nyatanya. Jika berbicara soal hukum yang paling dekat, sejauh aku menjadi mahasiswa hukum pada umumnya kami hanya memerbincangkan soal tugas-tugas kuliah.
Cara yang dilakukan untuk mengerjakan tugas-tugas kuliah, rata-rata para dosen menyuruh kami untuk mengerjakannya dengan tulis tangan. Sungguh aneh dijaman yang sudah semaju ini masih saja ada pola pikir seperti itu di kampus yang katanya mendapat akreditasi A ini. Alasan-alasanya terlihat tidak masuk akal, beberapa dosen berpendapat untuk menghidari praktik-praktik pragmatisme yang kita kenal dengan istilah copy paste. Jika itu alasannya toh tetap saja yang kita tulis juga hanya sebatas copy paste yang membedakannya hanya tidak di print tetapi kami tulis. Lalu apa yang dicari? Untuk tidak plagiat pun tidak bisa menjadi jaminan. Yang ada kami hanya disibukan dengan tugas-tugas yang dikerjakan secara konvensioanl itu. Untuk apa semua itu dilakukan jika memang tujuanya sendiri masih kabur kepastiannya atau mungkin dosen-dosen fakultas hukum yang selama ini terkenal dengan feodalismenya juga anti pada kemapanan sehingga menularkannya pada mahasiswa-mahasiswanya.
Kehidupan sehari-hari mahasiswa fakultas hukum tidak jauh dari nilai-nilai pragmatisme. Dengan sangat berat hati aku harus katakan itu. Hal ini dipertegas dalam proses belajar mengajar di kelas. Proses yang tercipta hanya satu arah antara dosen dan mahasiswa. Entah karena bahasan-bahasanya yang tidak bisa diikuti oleh mahasiswa atau memang tidak adanya ketertarikan pada ilmu-ilmu yang diberikan oleh dosen. Dosen hanya menerangkan dan kami hanya diam sambil sesekali memperhatikan jika urusan kami dengan gadget-gadget kami sudah selasai atau kami terlelap tidur setelah semalam harus bergadang. Alasan-alasan kami masuk ke kelas hanya memenauhi syarat formalitas absensi daripada titip absen pada teman, kami lebih memilih untuk masuk sendiri dikelas meski rasio ilmu yang masuk dan yang tidak kami mengerti berbanding terbalik dengan kecenderungan tidak mengerti.
Pada akhirnya memang perlu kerja keras dari para dosen untuk menggugah kesadaran  mahasiswa yang tak kunjung mendapat hidayah dari Tuhan itu. Beberapa manuver pola mengajar dilakukan oleh pada dosen  salah satunya dengan memodel kelas dengan pola diskusi, memberikan siraman-siraman motivasi, membuat kelas bebas dan hangat. Tetapi tak sedikit dosen yang sebelumnya konvesional dalam memberikan tugas juga konvensional dalam mengajar dengan datang duduk dan terpaku pada viewer, sedangkan mahasiswa lainnya seolah sedang mendengarkan seorang yang sedang kotbah. Lalu tidak ada yang kami dapat.
Pak Hanif juga mengatakan “Alangkah indahnya jika taman-taman, ruang baca, atau ruang-ruang umum di fakultas hukum diisi oleh kegiatan mahasiswa yang memang membangun dan berguna bagi proses pendidikan mereka sehingga akan menciptakan kondisi kampus sebagai sentral akademisi yang hakiki”. Idealnya memang demikian, kami seharusnya bisa melakukan banyak hal dengan fasilitas-fasilitas yang disediakan kampus.
Tidak ada yang salah jika taman-taman difakultas hukum dimanfaatkan sebagai tempat kajian-kajian atau diskusi-diskusi yang menarik yang mencuat dimasyarakat ditinjua dari segi hukum tanpa harus terjebak pada UKM mana yang berhak dan berperan sebagai UKM kajian di fakultas hukum sehingga apabila kultur seperti ini dibiasakan maka, kami selaku mahasiswa tidak lagi merasa terasing dengan ilmu yang kami pelajari.
 Kami juga tidak terasing pada realita yang ada sehingga proses mempraksiskan teori-teori itu berjalan beriringan dengan keadaan dilapangan, tak perlu turun kejalan, cukuplah kita menganalisa keadaan, melakukan kajian-kajian dan itu sudah sangat membantu untuk melatih nalar kritis kita sehingga pola pikir pragmatis tidak terlihat begitu dominan.
Analisis kritis kita pada permasalahn hukum seoalah dapat menunjukan jati diri kita sebagai mahasiswa hukum yang sebenarnya. Karena dalam memahami hukum tidak hanya sekedar hafal pasal per pasal atau azas-azas hukum yang sudah diluar kepala tetapi bagaimana penerapan nilai-nilai hukum mampu hidup dimasyarakat dan dipahami oleh masyarakat awam dan meyakini hukum sebagai salah satu jalan keluar dalam mengatasi permasalahan-permasalahan yang berkembang dimasyarakat.
Penerapan aturan-aturan seperti UUD 1945, undang-undang, perpu dll terhadap kasus-kasus hukum yang berkembang juga merupakan salah satu bagian dari proses interaksi inteltual, antara kita dengan keadaan sosial yang ada dimasyarakat. Yang tak kalah pentingnya juga bagimana kita sebagai calon-calon yang paham akan nilai-nilai hukum mampu menerapkan nilai-nilai hukum yang tertuang dalam undang-undang dengan benar dan sungguh-sungguh. Undang-undang atau sumber hukum tertulis lainnya hanyalah sebatas rangkaian kata-kata yang tidak mempunyai fungsi apapun jika tidak di aplikasikan, dalam arti mampu menjalankan fungsi dan tugasnya sebagai pengatur.
Pemanfaatan fasilitas-fasilitas di fakultas hukum saat ini kurang dimaksimalkan. Difakultas hukum ada Pusat Kajian Hak Asasi Manusia yang bergerak sesuai dengan namanya dibidang HAM. Lembaga Bantuan Hukum yang bergrak pada kegiatan pengabdian di masyarakat dan masih banyak lainnya. Jika selama ini dosen yang lebih mendominasi, lalu apa salahnya pula jika mahasiswa mencoba bejalar dan bekerja sama dengan dosen sehingga mampu menciptakan hubungan yang fleksibel, dampak lebih jauhnya kondisi itu mampu menghilangkan praktik-praktik feodalisme di kampus fakultas hukum.
 Diharapakan tidak ada lagi penghormatan pada seorang dosen senior atau dalam istilah struktural guru besar dengan mencium tangan atau bersalam sambil membugkuk baik itu oleh mahasiswa atau para dosen-dosen muda itu sendiri. Tidak ada lagi dosen yang marah dan menghalakan diri untuk mencaci mahasiswanya dengan mengatas namakan capaian akademik yang harus dihargai ketika seorang yang bergelar Profesor, secara tidak sengaja oleh mahasiswanya dipanggil “ibu atau bapak” bukan dengan panggilan “Prof” sebelum namanya.
“Hem Prof.”
 Terlihat sangat teknis sekali, tapi jangan sekali-kali bermain dengan api jika tidak ingin terbakar, mungkin istilah yang tepat. Itu yang dimanamkan penghargaan? Penghormatan? Ketika seorang sekelas profesor masih saja membutuhkan pengakuan meski seharusnya tanpa diminta pun sudah jelas-jelas diakui tanpa harus terjebak pada praktik-praktik teknis seperti itu. Cara menghargai yang jauh dari nilai-nilai akademis idealnya harus dihilangkan dari sentral akademisi ini karena kampus bukanlah kerajaan yang masih menjunjung hirarki yang statis.  Apabila proses belajar yang tidak hanya berpatron pada dosen sudah mampu teratasi maka dampaknya akan terasa pada proses belajar mengajar di kelas.
Interaksi yang tercipta tidak satu arah lagi tetapi dua arah dan menciptakan kondisi belajar mengajar yang menarik dan membangun karena mahasiswa terpacu untuk mencari diluar kelas. Hal ini sudah terbukti ketika aku mengikuti mata kuliah Hukum Tenaga Kerja, dimana dalam proses belajar itu mahasiswa berperan lebih dominan dikelas sedangkan dosen mampu menjalankan sebagai penyeimbang dalam diskusi itu dan hasilnya pun kelas menjadi menarik.
Segala sesuatu yang berhubungan dengan keidealan memang jauh dari kondisi yang sesungguhnya. Pada nyatanya keadaan itu tidak sepuitis yang aku ungkapkan sebelumnya. Kondisi mahasiswa hukum pada hari ini tidak terlalu berpihak pada permasalah-permasalahan hukum atau jangan terlalu jauh aku berharap. Dari hal yang paling kecil saja untuk sadar hukum saja sangat sulit rasanya. Kami sebagai mahasiswa fakultas hukum yang mana hampir dikesehariannya selalu berkaitan dan mempelajari hukum itu sendiri seolah masih gagap jika berhadapan dengan aturan-aturan yang ada di negara ini.
Dalam praktiknya masih saja mahasiswa hukum yang mengendari motor tanpa menggunakan helm padahal sudah jelas di atur dalam undang-undang lalu lintas. Jika dikembalikan pada kondisi kampus sekarang kita tidak bisa memampalingkan pandangan kita dengan keadaan yang mana mahasiswa fakultas hukum terlampau pragmatis. Oreintasi pada nilai sempurna meski secara pemahaman kosong, lulus dengan IPK tertinggi lalu berkerja yang jauh dari ranah hukum. Bank-bank sudah siap mengantri untuk mengajak kami bekerja sama setelah itu tamatlah idealisme kita sebagai seorang mahasiswa fakultas hukum.
 Selain itu kegiatan kampus yang jauh dari esensi utama dari Hukum itu sendiri meneyebabkan permasalahan laten yang sulit untuk disembuhkan  yaitu sikap masa bodoh kita pada realita hukum sudah menunjukan betapa  kita memang pada akhirnya tidak bisa berbuat apa-apa setelah lulus nanti.
Ketika kampus tidak lagi digunakan sebagai sentral akademisi dan  berganti rupa tak ubahnya seperti tempat hiburan yang bertebaran dengan persaingan fasyen terbaru, gadget terbaru atau motor terbaru yang semuanya terlihat material sekali sehingga dari itu semua berakumulasi pada mahasiswa-mahasiswa yang ketika diberi tugas menganislis, memberikan analisisnya secara dangkal atau mendekati dosen dengan materi-materi yang ada untuk mendapatkan nilai terbaik. Praktik-praktik yang sebenarnya bertentangan dengan nila-nilai hukum. Lagi-lagi aku terlampau puitis untuk menyandingkan yang ideal dengan realitas.
Kedekatan kami, pada dunia maya di satu sisi memang bermanfaat tapi disisi lainnya justu membentuk kita menjadi mahasiswa-mahasiswa pemalas sehingga berdampak pula pada upaya dosen untuk mengupgrade diri karena mahasiswanya serasa sudah cukup jika dijejali ilmu-ilmu yang ala kadarnya hal ini terlihat ketika seorang dosen mata kuliah perancangan undang-undang yang masih saja menggunkan aturan-aturan lama padahal sudah ada aturan baru. ironis sekali hal itu terjadi di kampus yang dapat akreditasi A. meski secara nyata berdampak positif ketika predikat itu melekat pada fakultas hukum. tapi kita semua sepertinya perlu lebih kritis menangapi itu semua.
Kadang aku mencoba meraba-raba dan kadang pula berdiskusi dengan para dosen-dosen dan mahasiswa yang masih bisa diajak bicara soal kondisi kekinian di fakultas hukum. Mengapa banyak yang terlihat apatis dan pragmatis sampai-sampai mahasiswa yang mencoba untuk kritis tertutupi. Hal ini kan jelas bahwa lebih banyak yang tidak sadarnya dibandingkan dengan yang sadar-maaf sebelumnya aku menggunakan istilah sadar dan tidak sadar karena mungkin itu yang lebih halus- alasan pertama yang aku tangkap adalah faktor internal, kesadaran menjadi kunci utamanya  karena hal ini berkaitan dengan faktor yang muncul dari dalam diri masing-masing individu.
Kesadaran rata-rata mahasiswa kuliah difakultas hukum kadang sangat kurang-buktinya sudah dijelaskan diatas- akhirnya berdampak pula pada kondisi kampus yang tidak lagi menelurkan kader-kader hukum yang berkualitas kalau lebih puitis dan romantis yaitu dikenal dengan istilahnya agen of change atau agen of control social. Memang, ada kesadaran yaitu bagaimana cepat lulus dan bekerja dengan cepat sehingga menghilangkan agenda-agenda yang harus dilalui untuk menciptakan sebuah proses yang sistematis.
Kesadaran ini membentuk cara pandanga mahasiswa, ketika cara pandanga mahasiswa tidak searah dengan kesadaran sebagai mahasiswa yang seharusnya dan fungsinya sesusai dengan Tri Dharma Perguruan Tinggi (anggaplah Tri Dharma perguruan tinggi sebagai barometernya). Sehingga pola pikir pragmatislah yang memperparah keadaan dikampus. Meski sebenarnya aku tidak terlalu melihat semua itu menjadi permasalaham serius tapi jika melihat dampak-dampaknya yang tercipta secara sistematis sungguh sangat mengerikan dan memprihatinkan. Cara pandang mahasiswa dalam kehidupan sehari-hari perkuliahan memang terlihat sangat pragmatis dan apatis. Sehinnga ketika berbicara permasalahan bersama selesailah dalam tataran kepasifan karena memang dirasa tidak ada hubungannya dengan kita. Mungkin itu sepenggal dari cara pandang mahasiswa fakultas hukum yang berkaitan dengan internal masing-masing individu.
Jika sebelumnya berbicara faktor internal, maka pada aku pun mencoba berargumen soal fakor-faktor eksternal. Yang paling mudah dibaca adalah bagaimana proses penerimaan masuk mahasiwa hukum yang terkesan asal comot saja sehinnga lebih mementingkan kuantitas dari pada kualitas. Meski sekali lagi aku tidak berbicara secara memukul rata tetapi lebih pada aspek yang lebih dominan. Dalam proses masuk untuik menjadi mahasiswa fakultas hukum ini melalui beberapa tahapan yang mana aku sendiri tidak tau transparansinya tapi jika dilihat dari jumlah mahasiswa Drop Out (DO) setiap tahunnya yang tidak kurang dari angka 50 orang per angkatan kan sudah menunjukan betapa sistem perekrutan mahasiswa baru tersebut bisa dikatan tidak berkualitas.
Meski ada alasan lain seperti  tidak bisanya mahasiswa yang terkena DO itu untuk mengikuti proses belajar mengajar di fakultas hukumtapi jika bicara akibat alangkah bijaknya jika jika kita juga bicara sebab.  Sepertinya memang proses penyaringan mahasiswa barulah yan memang tidak berkualitas untuk menjaring mahasiswa-mahasiswa yang berkualitas sehingga membentuk sebuah kultur yang bagus bagi perkembangan  di almamter tercinta ini.
Dampak yang sangat terasa pada hari ni jika melihat kondisi mahaiswa fakultas hukum yaitu hilangnya kultur hukum yang ada di tengah-tebngah mahasiswa fakultas hukum. bentuk nyatanya memang sudah sejak awal aku tunjukan dan diakumulasikan dalam sebuah kesimpulan kecil bahwa mahasiwa hukum memang semakin terasing dari ilmunya dan masyarakat, lingkungan sekitasnya sehinnga semkin mengokokohkan citra kampus sebagai menara gading yang menjulang di tengah-tengah masyarakat.
Tidak salah jika melihat sebabnya di kampus ini ketika aku berbicara lebih luas bahwa hancurnya supremasi hukum di Indonesia ini sudah dimulai dari dunia kampus karena mahasiswa terbiasa dengan keadaan-keadaan yang instan yang mana membentuk semangat dan etos yang tidak bisa mengikuti perkembangan jaman.
Hukum bukan lagi jadi sebuiah jawaban dalam setiap permasalahan tetapi menjadi permasalahan-permasalahan baru yang mencuat. Kita semua tau dan paham bahwa ketika b erbicara dengan Jaksa  atau Hakim maka identik dengan suap, begitu pula dengan aparat penegak hukum lainnya  seperti Polisi yang sibuk menembaki rakta daripada menegakan hukum dengan kokoh atau  pengacara yang sibuk lobi sana sini untuk memenangkan kasusnya. Huku formal seoalah hany indah dalam teks-teks saja. Sumber hukum tertulis semacam Undang-Undang juga ribut dijadikan lahan bisnis baru oleh para elit poltik.
Negara Indonesia hanya pandai membuat Undang-Undang tetapi dalam menerapkan dan mengapilkasikannya sangat sulit dan akhirnya hanya menjadi sampah-sampah intelektual saja yang menghabur-hamburkan uang negara yang tentunya juga uang rakyat. Belum lagi Mahkamah Kontitusi yang mana fungsi utamanya sebagai jangkar dalam penegakan konstitusi negara ini rentan di tunggangi kepentingan asing. Bukti nyatanya ketika ada undang-undang yang merugikan pengusaha buru-buru dilakukan Judicial review sedangkan coba tengoklah undang-undang Penanaman Modal Asing yang dibuat sejak dekade 70an sampai sekarang tidak ada yang berani untuk mengujikannya padahal kita semua tahu bahwa kerugian negara bukan lagi menjadi rahasia umum besarnya. Contoh kasusnya kekayaan negara yang dicuri oleh Amerika melalui Freeportnya dibiarkan begitu saja tanpa ada yang bergeming.
Sungguh mau sampai kapan kegalauan bangsa ini pada generasi penerusnya dibiarkan begitu saja. Ketika kita, kami, aku sebagai mahasiswa yang ngakunya sebagai mahasiswa hukum yang secara otomatis sehari-harinya berhubungan dengan  kultur hukm yang tegas, yangh tidak pandang kompromi maka wajarlah kita mencoba untuk membiasakan diri untuk itu. Mengkritisi hal-hal yang berkaitan dengan hukum yang berkembang di masyarakat[].
*tulisan untuk UKPKM TegalBoto
           

Ketidak sepakatanku pada Feminisme


Melakukan kritik terhadap budaya populer. Joanne Hollows, dosen senior dalam kajian Media dan Budaya di Notingam Trent University, mengidentifikasi beberapa pendekatan feminis kunci terhadap budaya populer dari tahun 1960 sampai 1990. Melalui buku ini Joanne juga menunjukkan bagaimana hubungan antara feminisme, feminitas, dan budaya populer sering bermasalah satu sama lain. Pertentangan antara feminisme dengan feminitas karena feminitas dianggap memperlemah posisi dari feminisme, dinama kita semua sudah ketahui bahwa feminisme semacam gerakan politik sedangkan feminitas lebih bersifat keperempuanannya yang terjebak pada pemahaman seperti yang digambarkan pada buku The Feminine Mystique, Betty Friedan yang secara langsung mencitrakan perempuan dalam pandangan tradisional yang menyatakan bahwa “ nilai tertinggi dan satu-satunya komitmen bagi perempuan adalah pemenuhan feminitas, usaha untuk memenuhi ‘potensi feminim’ mereka menyebabkan banyak gejala-  perasaan gagal, ketiadaan. Perempuan tidak lagi merasakan identitas dirinya sendiri karena didorong untuk memandang diri mereka sendiri hanya sebagai seorang istri atau seorang ibu. Kaum feminis jelas menolak hal tersebut, upaya yang dilakukan untuk mengubah hubungan kekuasaan antara laki-laki dalam berbagai isu akhirnya dapat menjadi “sia-sia” karena perempuan terlalu terjebak oleh pencitraan-pencitraan yang berkembang dalam masyrakat. Budaya populer memiliki peranananya dalam proses pencitraan ini. Joanne memperkenalkan gagasan utama tentang feminisme gelombang kedua dan feminisme cultural studies, kemudian memaparkan perdebatan kalangan feminis dalam mendekati budaya populer pada beberapa kasus kajian: film perempuan, fiki romantis, opera sabun, budya konsumsi danmaterial, praktik fashion dan kecantikan; juga budaya anak muda dan musik pop. Sebelum melihat lebih jauh perdebatan feminis terhadap budaya populer Joanne menggaris bawahi bahwa identitas feminisme merupakan produk dari konteks historis tertentu  [AA1] .
Media khususnya Televisi memiliki peranan penting dalam proses pencitraan itu,  sulit disanggah bahwa televise merupakan media yang paling banyak diakses oleh warga, jauh diatas media-media lain seperti Koran, radio, dan buku. Dari hasil-hasil dan analisis tentang perempuan dalam layar kaca yang berperspektif gender selama ini menyimpulkan bahwa sebagian besar tayangan perempuan dalam berbagai acara mampu mengkonstruk cara pandang perempuan dalam memandang feminitas. Akibat dari peran-peran media dalam proses pencitraan tradisional yang dijelaskan the feminime mystique, perempuan telah dibatasi oleh media, sehingga gerakan perempuan tidak leluasa sebagai contohnya saja perempuan diindentikan dengan pekerjaan rumah tangga, melayani suami dan menjadi ibu yang baik.
Dalam perkembangannya televisi dijadikan wadah untuk menampilkan film-film.   Kritik feminis pada kasus film perempuan misalnya. Bagaimana film-film diproduksi dan menempatkan perempuan sebagai objek. Keberadaan perempuan dinilai dari sejauh mana dia tampil dengan watak femininitas yang ditonjolkan. Demikian pula fiksi romantis yang mereproduki budaya patriarki. Perempuan disuapi dengan cinta sejati. Fiksi romantic menawarkan mimpi-mimpi utopia akan dunia yang lebih baik. Fiksi romantis dinikmati sebagai fantasi yang mungkin perempuan alami kalau kebahagiaan memenuhi hubungan pencitraan. Fiksi romantic mampu mengkontruksi  pemahaman kaum perempuan sehingga terlena oleh kisah-kisah yang ditawarkan sehingga perempuan menjadi tidak sadar bahwa keberadaannya   Opera sabun yang membahayakan kesadaran politik perempuan. Praktik fashion dan kecantikan yang telah mendikte perempuan untuk diarahkan. Pada kutub yang lain, budaya anak muda serta musik pop, terus menerus memproduksi ilusi-ilusi tentang kebahagiaan, kesedihan, dan aneka macam bentuk budaya yang menghilangkan kreatifitas.

 [AA1]Ngutip, maksudnya apa ya?